Jumat, 20 Juli 2012
Melihat Kekayaan Negara dari Sudut Pandang Baru
Selama ini, tingkat kesejahteraan dan kekayaan sebuah negara diukur dari pertumbuhan ekonomi lewat pendapatan domestik bruto (PDB). Dari angka pemasukan itulah sebuah negara dihitung kemajuannya.
Indonesia, misalnya, saat ini sedang menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 persen pada 2020. Untuk mencapai angka tersebut, pemerintah Indonesia menggenjot sumbangan industri pertambangan, gas alam, kelapa sawit, serta industri kayu dan bubur kertas.
Hanya saja, diskusi di sekitar KTT Bumi yang sedang berlangsung di Rio de Janeiro sampai 22 Juni nanti mencoba menyodorkan alternatif baru dalam mengukur pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Alasannya, pendapatan domestik bruto tidak menghitung kerusakan lingkungan yang terjadi di sebuah negara saat mereka sedang mengejar pemasukan yang tinggi.
Salah satu pemikiran alternatif untuk menghitung pertumbuhan ekonomi ini disodorkan oleh lembaga lingkungan PBB, United Nations Environment Programme (UNEP). Dalam sebuah laporan penelitian yang dirilis oleh UNEP, bersama dengan United Nations University di Rio de Janeiro, mereka menghitung kembali angka-angka pertumbuhan ekonomi yang terjadi di 19 negara di dunia. Laporan itu diberi judul Inclusive Wealth Index atau Indeks Kekayaan Inklusif.
Angka pertumbuhan ekonomi dari 19 negara itu kemudian dikontraskan dengan skala kerusakan lingkungan serta menurunnya kualitas hidup penduduk di negara tersebut. Beberapa skala kerusakan lingkungan yang dihitung adalah makin sedikitnya jumlah hutan di sebuah negara, berkurangnya sumber bahan bakar fosil (minyak bumi, gas, serta batubara), serta seberapa banyak ikan di lautan masing-masing negara berkurang, berkurangnya lahan pertanian, serta stok mineral (bauksit, tembaga, emas, besi, timah, nikel, fosfat, perak).
Hasilnya cukup mengejutkan. Cina, yang dari 1990 sampai 2008 tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 422 persen, ternyata ketika angka itu dihadapkan pada berkurangnya sumber daya alam, ekonomi mereka 'hanya' tumbuh 45 persen. Sementara Brasil yang jadi salah satu negara kaya baru akibat pertumbuhan ekonominya mencapai 31 persen, ternyata sebenarnya ekonominya tak berkembang setinggi itu, hanya 18 persen saja. Malah, stok sumber daya alam dan hutan di Brasil berkurang sampai seperempat.
Afrika Selatan, negara berkembang yang kini masuk kelompok negara kekuatan ekonomi baru (new emerging economies), tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 24 persen dengan memanfaatkan kekayaan alamnya. Ternyata, setelah dihitung ulang, ekonomi mereka bukannya berkembang, malah mengalami minus 1 persen karena faktor kerusakan lingkungan.
Sayangnya, Indonesia tak masuk dalam negara yang disurvey untuk peringkat ini. Meski begitu, kita harus melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sangat bergantung pada banyaknya tambang-tambang baru, berubahnya lahan pertanian atau berkurangnya lahan hutan gambut jadi kebun kelapa sawit, begitu pula dengan makin banyaknya pembukaan hutan.
Maka kita pun patut mempertanyakan, kerusakan lingkungan seperti apa yang harus kita hadapi dengan pertumbuhan ekonomi yang kini sudah mencapai 6 persen?
Peneliti School of Democratic Economics (SDE) Hendro Sangkoyo juga pernah mengatakan. "Jika kita mendasarkan pertumbuhan ekonomi 7 persen dari sektor energi, apa yang akan kita bayar sebagai gantinya? Apakah kehancuran di sepanjang pesisir timur Sumatera?"
Koordinator Kontras Haris Azhar dalam sebuah konferensi pers juga mengkhawatirkan hal yang sama. "Apa artinya target pertumbuhan ekonomi 7 persen jika konflik lahan seperti di Mesuji atau konflik masyarakat dengan perusahaan tambang seperti di Sape, Bima, terus terjadi?"
UNEP bukan satu-satunya yang mengajukan cara pandang baru dari melihat kekayaan ekonomi sebuah negara. Perdana menteri dari negara kecil Bhutan juga datang ke KTT Bumi di Rio de Janeiro sengaja untuk mempresentasikan konsep kebahagiaan domestik bruto sebagai ukuran kesejahteraan negaranya lewat forum sidang umum.
PBB pun, menurut pejabat Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan, Nikhil Chandavarkar juga sudah mengembangkan sistem akuntansi ekonomi lingkungan (System of Environmental-Economic Accounts -- SEEA). Idenya kurang lebih sama, bagaimana melihat kekayaan suatu bangsa dari berbagai sudut pandang. Tak hanya ekonomi, tapi juga energi bersih, akses terhadap air, serta berkurangnya sumber daya alam seperti perikanan, tanah dan ekosistem, dan lahan pertanian.
Para analis kemudian melihat pertumbuhan ekonomi masing-masing negara dengan berkurangnya sumber alam. Hasilnya, negara-negara seperti Korea Selatan dan Meksiko yang sudah menghitung sendiri pertumbuhan ekonomi mereka lewat SEEA juga melihat bahwa ada harga lingkungan yang harus dibayar atas cara mereka mengejar kekayaan. Bahwa pertumbuhan ekonomi mereka sebenarnya tak berarti jika dibandingkan dengan kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas hidup penduduk.
Lalu, apakah cara pandang baru akan kesejahteraan negara ini, melihat lebih dari sekadar PDB, akan menjadi praktik umum di tingkat internasional?
Dokumen The Future We Want yang akan jadi hasil akhir KTT Bumi ini tampaknya menjamin hal tersebut. Direktur program Third World Network, kelompok pengamat pembangunan dan negara berkembang dalam negosiasi internasional, Chee Yoke Ling berpendapat ada paragraf khusus di dokumen tersebut soal pembangunan berkelanjutan. Salah satu indikatornya bukan hanya PDB, tapi juga kesejahteraan menyeluruh setiap orang karena dukungan ekosistem lingkungan yang sehat.
Karena apa artinya Indonesia menjadi negara kaya ber-PDB tinggi jika kualitas air dan udara rusak, banjir berulang karena hutan gundul, dan konflik rakyat dengan tambang terus-menerus terjadi?
sumber : yahoo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
give your coment for progress us and thanks for your atention..!